Rabu, 13 Juli 2011

Mengapa Alam Semesta Mau Tunduk kepada Manusia ?

Mengapa Alam Semesta Mau Tunduk kepada Manusia ?




 "Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Alloh menundukkan bagimu
apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya?"
(QS al-Haj/22:65).

"Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Alloh)
bagi kaum yang berpikir." (QS al-Jatsiyah/45:13).

Pertanyaan teologis yang sering mengusik di dalam benak kita adalah mengapa
alam semesta dengan segala isinya, termasuk para malaikat, jin, hewan, tumbuh-tumbuhan,
dan benda-benda mineral lainnya mau tunduk kepada manusia?
Bukankah usia pengabdian mereka lebih tua daripada manusia?

Bukankah mereka tidak pernah ada yang berdosa dan membangkang perintah Alloh SWT ?
Apa dan di mana letak keistimewaan manusia sampai mereka mau menundukkan diri
kepada manusia ?
Pertanyaan mendasar di atas sering dijawab secara dangkal dan simplistic oleh sebagian orang.

Mereka mengatakan manusia dianugerahi akal di samping diberi nafsu.
Selain itu, manusia telah ditunjuk oleh Alloh sebagai kholifah di alam semesta ini.
Jawaban seperti ini ditolak para sufi dengan alasan bahwa manusia bukan satu-satunya
ciptaan yang diberi akal (al-hayawanun-nathiqoh), tetapi banyak sekali makhluk lain
yang memiliki akal.

Bahkan, mungkin mereka lebih cerdas berpikirnya dibandingkan manusia.
Para ahli binatang menemukan banyak bukti bahwa binatang memiliki
kecerdasan berpikir bertingkat-tingkat.
Monyet, misalnya, dapat menyusun kursi di atas meja untuk menggapai pisang
yang digantung di langit-langit.

Seekor anjing dapat disekolahkan menjadi anjing pelacak yang dapat mengidentifikasi
objek dengan cerdas, apalagi bangsa jin dan makhluk spiritual lainnya.
Menurut para ahli, jika fenomena penampakan UFO yang tahun-tahun terakhir
banyak terlihat benar-benar ada, dipastikan makhluk UFO itu lebih cerdas
dalam banyak segi daripada manusia.

Pendapat ini didukung oleh Al-Qur’an, "Tidakkah kamu tahu bahwasanya Alloh:
kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung
dengan mengembangkan sayapnya.
Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya,
dan Alloh Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan." (QS An-Nur/24:41).

Ayat ini menggunakan kata man fis-samawati wal-ardh.
Dalam kaidah bahasa Arab atau Ulumul Qur’an, penggunaan huruf “ma” menunjuk
pada sesuatu yang tidak berakal dan huruf “man” untuk makhluk cerdas atau berakal.
Ayat di atas mengisyaratkan, makhluk berpikir dan cerdas bukan hanya di bumi,
tetapi juga makhluk lain yang ada di langit.

Menurut Ibnu Arobi, keistimewaan manusia yang kemudian mengantarkannya
menjadi kholifah lalu alam semesta tunduk kepadanya, sama sekali bukan karena akalnya.
Ia mengatakan, kemampuan berpikir bukan ciri khas manusia,
melainkan menjadi fenomena alam semesta.

Ia menegaskan, keliru besar orang yang beranggapan keistimewaan utama
yang dimiliki manusia karena ia sebagai makhluk berpikir.
Keistimewaan yang dimiliki manusia, ungkap Ibnu Arobi, adalah kesempurnaan manusia
sebagai lokus penampakan nama-nama (asma) dan sifat-sifat Tuhan.

Alam mineral merupakan lokus paling sederhana dapat menerima penampakan tersebut,
lalu disusul oleh tumbuh-tumbuhan, binatang, dan makhluk-makhluk spiritual.
Lagi pula, semua unsur alam lain ada pada diri manusia, seperti di dalam tubuh manusia
ada unsur mineral (tanah dan air), tumbuh-tumbuhan, dan binatang.

Dari sisi spiritual manusia juga memilikinya, bahkan tidak tanggung-tanggung,
Alloh sendiri yang meniupkan ruh-Nya ke dalam diri Adam.
Dengan demikian, secara lahir dan batin manusia merupakan ciptaan terbagus.
Di dalam Al-Qur’an, suroh Shod ayat 75,  secara eksplisit Alloh menciptakan manusia
lengkap dengan kedua tangan-Nya.

Dalam suroh tersebut Alloh berfirman, "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud
kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku.
Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang
yang (lebih) tinggi ?''

Manusia disebut sebagai lokus penampakan asma Alloh karena ia dapat memantulkan
secara sempurna semua asma Alloh.
Sedangkan makhluk-makhluk lainnya hanya bisa memantulkan sebagian.
Manusia bisa mamantulkan asma Alloh, termasuk nama-nama aktif-Nya
yang terkesan saling berlawanan satu sama lain.

Seperti asma Yang Maha Indah (Al-Jamal) dan Yang Maha Agung (Al-Jalal),
Yang Maha Lembut (Al-Lathif) dan Yang Maha Pemaksa (Al-Qohhar),

serta Yang Maha Pemberi Manfaat (An-Nafi') dan Yang Maha Pemberi Bahaya (Adh-Dhor).
Alam mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan malaikat tidak mengenal dosa dan maksiat
karena itu sulit kita membayangkan mereka dapat memantulkan sifat-sifat Alloh
Yang Maha Pemaaf (Al-'Afwu), Yang Maha Penerima Tobat (At-Tawwab),
dan Yang Maha Pengampun terhadap segala dosa (Al-Ghofur).

Dari sudut pandang inilah, manusia sebagai satu-satunya makhluk teomorfis
atau makhluk eksistensialis, yang bisa turun naik martabatnya di mata Tuhan.
Dari sudut pandang ini juga, Al-Jilli melihat manusia sebagai makhluk paripurna
atau insan kamil.

Manusia bisa melejit sampai ke puncak di atas dari segala puncak,
seperti disimbolkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam kisah Isro Mi'roj-nya
yang sampai ke Sidhrotul Muntaha, di mana sang Jibril sendiri meminta maaf
kepada Nabi Muhammad tidak bisa mendampinginya ke puncak
karena "energi"-nya sudah tidak sanggup lagi mendaki.

Sebaliknya, manusia juga bisa tergelincir jatuh ke lembah paling hina (asfala safilin),
sebagaimana diisyaratkan dalam Alquran,
"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi Neraka Jahanam kebanyakan dari jin
dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Alloh) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Alloh), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Alloh).
Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.
Mereka itulah orang-orang yang lalai." (QS Al-A'rof/7:179).

Ayat ini menggambarkan kepada kita betapa manusia itu sangat riskan
dalam menjalani kehidupannya.
Ada kalanya naik, statis di tempat, dan ada kalanya jatuh ke bawah.
Tergantung seberapa jauh manusia bisa mengidentifikasikan diri dengan sifat-sifat
dan nama-nama Alloh.

Manusia paripurna (insan kamil) inilah yang merupakan kholifah sesungguhnya.
Menurut Ibnu Arobi, manusia yang tidak sampai kepada derajat kesempurnaan
(rutbatul-kamal) adalah binatang yang menyerupai manusia
dan tidak layak menyandang predikat kholifah, bahkan tidak layak menyandang gelar insan.

Yang layak menyandang predikat insan kamil dan sekaligus menyandang posisi kholifah
adalah para nabi dan wali.
Namun, bagi mereka yang belum mencapai martabat tersebut tetap tidak boleh putus asa
karena masih terbuka pintu lebar bagi manusia untuk meraih gelar tersebut.

Upaya mencapai predikat insan kamil menurut para sufi ialah mencontoh sifat-sifat Tuhan,
sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad, "Takhollaqu bi akhlaqillah
(Berakhlaklah sebagaimana akhlaknya Alloh)."
Di samping itu, kita juga diminta mencontoh dan meneladani akhlak Nabi Muhammad.

Hal ini oleh Aisyah disebutkan, "Kana khulquhu Al-Qur’an (Akhlak Nabi ialah Al-Quran)."
Di sinilah keterkaitan para sufi dengan syariat karena tidak mungkin seseorang
bisa sampai ke puncak tanpa melewati syariat sebagai pintu gerbang utama.

Seseorang yang berusaha untuk meneladani Tuhan dalam sifat-sifat-Nya,
digambarkan oleh seorang filsuf Muslim Ibnu Sina.
Orang itu akan selalu bergembira dan banyak tersenyum karena hatinya telah dipenuhi kegembiraan
sejak ia mengenal Tuhannya.
Di mana-mana ia melihat hanya satu, yaitu kebenaran, melihat Yang Maha Benar lagi Maha Suci itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar